Istilah Dwitunggal SI-Muhammadiyah merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Mohammad Natsir, mantan Ketua Umum Partai Politik Islam Masyumi, inisiator Mosi Integral yang mengembalikan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Perdana Menteri (pertama) Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dalam kuliah subuh di Masjid Al-Munawwarah, Tanah Abang, Jakarta, pada 20 Agustus 1978.[1]
Istilah Dwitunggal SI-Muhammadiyah bukanlah sekadar istilah yang disebutkan tanpa ada latar belakang historis. Natsir memopulerkan istilah Dwitunggal karena kedua organisasi tersebut memiliki tujuan dan latar belakang perjuangan yang sama. Hanya saja memiliki perbedaan cara.
Begitulah sejatinya organisasi-organisasi yang terlahir di zaman pra dan pasca kemerdekaan hingga reformasi; masing-masing punya cara untuk sampai pada satu tujuan; yakni, bebas beribadah dan menjalankan syariat serta bebas secara total dalam mengelola negara tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
Muhammadiyah sebagai organisasi tertua tentu memiliki peran signifikan dalam membangun bangsa yang besar ini. Jelas, hal ini dapat dilihat dari kontribusi tokoh-tokoh di awal-awal kemerdekaan, seperti: Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimedjo dan K.H Abdul Kahar Mudzakir. Meski demikian, Muhammadiyah ketika itu hanya membatasi kiprahnya di bidang dakwah, sosial dan pendidikan.
Jika Muhammadiyah membatasi geraknya pada dakwah, sosial dan pendidikan, maka tentu, gerakan umat Islam, termasuk tokoh-tokoh yang dilahirkan oleh Muhammadiyah akan sangat terbatas. Di sinilah peranan Sarekat Islam (SI) sebagai organisasi yang hadir untuk melengkapi keterbatasan tersebut melalui jalan politik bagi umat Islam di Indonesia.
Istilah Dwitunggal SI-Muhammadiyah ternyata melahirkan rasa persatuan dan kesatuan melalui integrasi gerakan yang berkesinambungan. Muhammadiyah membangun kesadaran intelektual dan Sarekat Islam (SI) menjembatani kader untuk berkiprah di bidang politik untuk memperjuangkan hak-hak kaum muslimin di parlemen.
Dwitunggal SI-Muhammadiyah sejatinya hanyalah miniatur kecil yang seharusnya menjadi akar dan harus terus bertumbuh di kalangan umat Islam hari ini – apapun gerakan dan organisasi dakwahnya. Jika saja belakangan gerakan-gerakan yang digeluti oleh berbagai kalangan semakin beraneka ragam; maka fokus utama yang mesti dicapai untuk wilayah dakwah di skala Indonesia adalah tercapainya nilai-nilai Pancasila di dalam lingkup berbangsa dan bernegara.
Sila-sila yang ada di dalam Pancasila bisa menjadi Garis Besar Haluan Gerakan Pemersatu Perjuangan Umat Islam Indonesia — karena butir-butir sila yang terkandung di dalamnya merupakan Maqhasid As-Syariah bagi umat Islam. Misalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini adalah sila yang tentu menjadi prioritas utama setiap organisasi dakwah. Tidak ada satu organisasi pun yang tidak mengawali pembinaan dalam dakwahnya kecuali berfokus pada perbaikan konsep teologi ke-Esaan Tuhan. Istilah populer aktivis dakwah adalah dakwah tauhid. Bukankah dengan diterapkannya sila tersebut merupakan bagian dari fokus setiap elemen organisasi Islam?
Sila yang kedua adalah sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Setelah melahirkan masyarakat yang bertauhid, maka hal yang mesti terbentuk dan harus disuarakan oleh setiap elemen umat adalah melahirkan empati kemanusiaan yang tentu harus adil dan beradab di tengah-tengah umat. Bukankah hal demikian merupakan perintah Al-Qur’an dan telah diisyaratkan oleh para ulama di masa lalu?
Sila yang ketiga adalah Persatuan Indonesia. Sila yang tentu mewajibkan setiap warga negara untuk bersatu dan harus menghindari perpecahan? Bukankah hal demikian pula yang diharuskan oleh Al-Qur’an, sunnah dan Undang-undang Dasar 1945?
Sila yang keempat adalah Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Sila keempat ini tentu merupakan sila yang tidak kalah pentingnya. Sila yang menjadi pedoman struktural dalam setiap keputusan organisasi. Bukankah hal demikian juga yang diajarkan oleh Al-Qur’an? Dan yang tak kalah pentingnya, selain menjadi perintah kitab suci, hal ini juga sama sekali tidak menyalahi prinsip demokrasi.
Sila yang terakhir adalah Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini adalah implikasi besar dari apa yang akan dicapai oleh ke empat sila sebelumnya. Selain itu, sila ini juga yang menjadi bagian terpenting yang harus menjadi pondasi pelaksanaan hukum negara. Terlebih lagi, ini adalah perintah Al-Qur’an sebagaimana yang disiratkan di dalam banyak ayat.
Selain itu, jika ditinjau dari perspektif sejarah, salah satu indikator penting yang memersatukan umat Islam Indonesia adalah sama-sama beragama Islam. Kesamaan ini merupakan kesamaan yang paling mendominasi persatuan setelah kesamaan bahasa (Melayu) dan kesamaan nasib (terjajah). Hal itu, dikarenakan setiap elemen umat Islam punya hasrat untuk membebaskan dirinya dari pengaruh ketidakadilan perlakuan yang dilakukan oleh para penjajah; terutama dalam hal beribadah.
Semangat ini terus digelorakan oleh berbagai elemen umat di zaman itu. Meski gerakan dan metode berbeda, tapi tujuan tetaplah sama. Hari ini, soal utama adalah tidak adanya Garis Besar Haluan Gerakan Pemersatu Perjuangan bagi umat Islam Indonesia. Olehnya, masing-masing fokus untuk mengembangkan organisasinya.
Umat Islam sebelum kemerdekaan harus bersatu merebut kedaulatan. Di zaman Orde Lama harus berjuang mengokohkan kedaulatan. Di zaman Orde Lama harus berjuang melawan otoritarian. Dan sejak pasca reformasi hingga zaman demokrasi seperti hari ini? Masih jadi tanda tanya bagi setiap kaum muslimin. Jika saja Garis Besar Haluan Gerakan Pemersatu Perjuangan telah disepakati, maka kekuatan Islam akan menyatu di segala lini kehidupan. Lihat saja peristiwa 212! Salah satu penyebab besarnya massa yang berdatangan dikarenakan adanya satu tujuan; yakni, bela Islam dari Al-Qur’an yang dinistakan!
Semangat Dwitunggal SI-Muhammadiyah, Aksi 212 adalah gambaran fokus bersatunya gagasan dan tujuan. Kalau hari ini Pancasila menjadi Garis Besar Haluan Gerakan Pemersatu Perjuangan maka setiap organisasi mesti berjalan pada fokus yang sama dengan cara yang berbeda-beda; Nahdhatul Ulama tetap berjuang lewat dakwah kulturalnya, Muhammadiyah berjuang lewat dakwah formalnya, Wahdah Islamiyah lewat gerakan tarbiyahnya, Front Pembela Islam lewat amar makruf nahi mungkarnya, Persatuan Islam lewat dakwah ittihadiyahnya, dst. Kelak, jika Pancasila benar-benar menjadi Garis Besar Haluan Gerakan Pemersatu Perjuangan, maka jangankan Dwitunggal, kedepannya akan ada Dasatunggal, Satatunggal atau bahkan Laksatunggal.
[1]Lukman Hakiem, Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2018 M), h.4.
Beri Komentar