“Genggam tangan mereka dan tunjukkan jalannya” Berawal dari perjalanan seorang pengelana yang dulunya seorang dengan karakter hati yang keras, angkuh, egois dan berjiwa anti sosial. Mulailah dia berkelana ke sebuah daerah diperantauannya. Disana setelah melalui beberapa proses pembelajaran tiba lah saat dimana ia dipercaya untuk dikirim mengajar disuatu Yayasan yang cukup besar di kawasan Tulungagung, Jawa Timur. Sebelum itu, ia dan kawan-kawannya mendapatkan beberapapengarahan materi dan bimbingan konseling singkat terkait bagaimana dan apa yang akan ia hadapi nantinya di masa pengajaran itu. Disana sang guru berkata ”nak, nantinya kalau kamu menemukan muridmu yang sulit diatur, yang tidak bisa fokus saat pelajaranmu, yang selalu mengantuk setiap saat. Jangan dimarahi, tapi dekati dia, rangkul dia dan genggam tangannya. Itu lah cerminanmu dulu semasa kamu masih mengenyam pendidikan, itu lah gambaran singkatmu dulu. Kalau kamu memarahinya, berarti kamu menyesali segala pengalaman yang telah kamu dapatkan”. Dan dari situ juga sang pengelana masih belum memiliki pandangan apapun dibenaknya hanya ada kalimat ”ah, mana mungkin. Itu hanya kalimat biar kita patuh saja”. Ya bagaimana lagi, begitulah ia dengan sifat dan keras hatinya. Genggam tangan mereka dan tunjukkan jalannya.
Tibalah saat dimana ia dan beberapa temannya berangkat. Dibayangannya hanya terlintas hal-hal yang indah saja. Namun, betapa terkejutnya ia tatkala ia memasuki sebuah ruangan yang tidak begitu ramai didalamnya. Hanya berisikan 15 siswa siswi didalamnya. Namun, bukan jumlah itu yang ia soroti, akan tetapi perbedaan yang ia temukan dalam kelas itu yang memebuatnya terdiam dalam keterkejutannya. Bagaimana tidak, hampir 60% anak dalam kelas memiliki keistimewaan dimana mereka terlahir dengan kekurangan yang membuat mereka saling melengkapi antar satu dengan yang lainnya. Dari yang mengalami autism specturm disorder, hingga yang mengalami kesulitan dalam mendengar, melihat dan berbicara. Mereka disatukan dalam satu wadah, kelas itu.Disitulah awal sang pengelana mulai merubah pemikirannya, prinsipnya, pola hidupnya dan segala pandangannya akan sekitarnya. Dari situ pula ia menemukan bahwa anak-anak yang sedang kita didik itu seperti air. Dimana terkadang mereka tenang namun ada masa juga mereka terombang ambing oleh angin dan menciptakan gelombang yang besar.
Kita sebagai pengajar hanyalah wadah kosong yang mencoba mengambil air untuk mengisi kekosongan disini. Ketika air mengenai wadah ini, yang terjadi adalah ombak kecil. Semakin wadah ini menekan dan memberikan gerakan, semaki besar pula ombak yang akan tercipta. Sama seperti kita. kita hanyalah orang baru yng mencoba memasuki dunia yang baru anak-anak ciptakan. Terjadi rasa canggung memang diawal, tak apa. Pilihan ada pada diri kita, akankah kita memaksakan mereka untuk menerima kita dengan memberikan tekanan, paksaan, dan gertakan ? atau kah kita memasuki mereka secara perlahan ?Kalau boleh saya jawab, saya memilih jawaban kedua. Biarkan mereka mengalir, ikuti saja kemana aliran mereka, ketika mereka mengalir cukup jauh tarik perlahan, ketika mereka bisa menerima kita tanpa kita minta mereka juga yang akan memberikan kepercayaan tanpa kita minta. Itulah bentuk kado terindah yang tak bisa kita nilai dari sisi manapun, kado terbesar dan yang paling berharga dari seorang anak untuk orang tua keduanya, dari seorang adik untuk kakaknya, dari seorang sahabat kecil untuk sahabat barunya. Genggam tangan mereka dan tunjukkan jalannya. Setelahnya biarkan mereka melangkah sendiri sesuai isi hati mereka. Tarik mereka jika mereka terlalu jauh, gertak mereka jika mereka terlalu lalai. Tapi, bukankah dulu saat masih kecil ketika minum obat yang pahit kita selalu mendapatkan gula untuk menawarkannya?
Beri Komentar