Ada satu rasa yang apabila rasa itu kita tumbuhkan terus-menerus, maka hidup akan terasa tentram. Namun, apabila rasa itu kita pendam tanpa ada usaha untuk menumbuhkannya. Maka hidup kita pun akan menjadi sebaliknya. Kau tau apa satu rasa itu? Ya, satu rasa itu adalah ‘Bersyukur’. Karena dengan bersyukur kita akan belajar arti keikhlasan tanpa ada rasa kecewa dengan hal apapun yang kita dapatkan. Sekalipun hal itu bukanlah hal yang kita inginkan.
Dengan bersyukur hati menjadi lapang, pikiran menjadi tenang, jiwa dan raga pun ikut seimbang. Perihal bahagia? Tentu sudah pasti. Karena Allah akan memberi nikmat dan karunia-Nya bagi para hamba-Nya yang pandai bersyukur. Seperti yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7 :
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS Ibrahim : 7)
Layaknya seorang manusia yang memiliki hati dengan sifatnya yang mudah terbolak-balik. Aku yang kala itu masih berada di titik bimbang pada fase pencarian jati diri, merasa ada yang keliru dengan diri sendiri. Hingga timbul sebuah rasa yang membuatku tak percaya diri atau biasa disebut ‘insecure’. Bersebab melihat teman-teman di sekelilingku dengan pencapaiannya yang luar biasa.
Sedangkan aku? Pertanyaan itulah yang selalu muncul dalam benakku. Terlebih kala itu adalah masa dimana aku memiliki keinginan keras untuk melanjutkan study ke Timur Tengah. Tapi ternyata Allah memiliki rencana lain. Hingga mengubah hatiku dari sebuah rasa ‘insecure’ menjadi ‘bersyukur’.
Musim hujan telah pergi, menyisakan berapa genangan air di setiap jalan yang kulalui. Sambil menatap jauh ke penghujung jalan. ku bergumam dalam hati, “Sampai kapankah penantian ini? Bila nyatanya hingga detik ini pun hal yang telah lama ku impi, belum juga datang menghampiri? Sekali lagi, sampai kapan ku harus menanti?” Tak terasa butiran halus itu pun jatuh membasahi pipi. Seakan membiarkan diri untuk semakin meratapi. Sudah hampir 6 bulan dari masa kelulusanku, belum juga ada kepastian kemana kaki ini akan melangkah membawaku pergi ke jenjang perguruan tinggi.
Tiba-tiba handphone-ku bergetar, menandakan sebuah notifikasi pesan dari salah satu grup yang ada di aplikasi whatsapp. Dan ternyata benar dugaanku, pesan itu berisi kata perpisahan dari seorang kawanku yang akan melanjutkan study nya ke luar negeri. “Baiklah, satu persatu dari sepuluh kawanku pun telah menemukan dunia barunya. Sedangkan aku? Masih bergelut dengan pikiran tanpa kepastian.”
Ya, jika saja tak banyak pertimbangan dari keluarga, sudah pasti telah ku ambil langkah tanpa ragu untuk melanjutkan study ke Timur Tengah. Tapi semuanya kembali kepada ridho orang tua. “Karena sebesar apa pun kita berkeinginan jika tanpa di dasari oleh ridho orang tua, semua itu takkan bisa berjalan sesuai rencana.” Itulah yang menjadi salah satu prinsip dalam hidupku.
Meski belum sepenuh hati, tapi aku terus berusaha untuk menghafal dan mentadaburi kandungan dari setiap ayat Al-Qur’an. Dengan tujuan, setelah aku berhasil menyelesaikan hafalan, aku akan mendapat restu untuk bisa pergi ke luar negeri.
Dan rupanya, semua tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak ujian serta godaan yang datang. Terlebih, Al-Qur’an hanya bisa bersemayam di dalam hati yang penuh keikhlasan. Sedangkan hatiku? Masih penuh dengan kekeliruan dan niat yang salah. Maka tak jarang aku merasa bosan dan selalu ingin pulang. Karena memang, ini bukan pilihan. Ini hanyalah pengalihan agar aku mendapat ridho dari orang tua.
Hingga tiba waktu ku pulang. Bertemu kembali dengan kawan-kawan seperjuanganku di masa lalu yang tentunya sudah tak lagi seperti dulu. Bersebab pola hidup yang telah berbeda, juga kesibukan yang tak lagi sama. Dan satu pertanyaan pun muncul dari mulut mereka, “Mengapa kamu tidak kuliah?” Entah mengapa satu pertanyaan itu seakan menjadi beban berat yang harus ku tanggaung. Bagaimana tidak? Bahkan aku sendiri pun tak tahu apakah aku akan kuliah atau tidak. Mengingat diriku yang belum juga mencapai target hafalan Al-Qur’an. Seketika itu pun rasa itu hadir. Sebuah rasa tak percaya diri dan merasa malu atau bisa disebut ‘insecure’.
Begitu dahsyatnya rasa insecure itu, hingga hampir membuatku hilang arah dan menyerah. Aku belum bisa menerima keadaan dengan sebuah harapan yang tak menjadi kenyataan. Namun, di tengah kegelisahan itu, Allah menghadirkan ketenangan dengan mempertemukanku dengan kawan baru di tempat yang baru pula. Meski masih dengan kegiatan yang sama, yaitu menghafal Al-Qur’an. Namun tempat ini sedikit berbeda dari sebelumnya. Sebuah rumah tahfidz yang terletak di daerah Boyolali. Berada di tengah pedesaan yang tak jauh dari kota.
Satu hal yang membuatku merasa tenang adalah karena aku berkumpul bersama teman-teman yang mengalami kendala yang sama sepertiku. Yaitu merasa bingung dalam pencarian jati diri (Quarter Life Crisis) dan selalu merasa insecure dengan keberhasilan yang lain. Dengan hadirnya mereka, aku tak lagi merasa khawatir. Karena bukan hanya aku satu-satunya orang yang merasakan hal itu. Terlebih, kita selalu melakukan berbagai cara untuk saling menghibur satu sama lain. Entah sejak kapan kenyamanan ini hadir, aku juga mulai mengerti arti sebuah keikhlasa hingga menghadirkan sebuah kesyukuran.
Dan kini aku di sini. Memulai petualanagan baruku bersama Al-Qur’an di sebuah kota kecil yang terletak di Jawa Timur. Bertempat di kampung Qur’an yang selalu menghadirkan ketenangan. Terlebih di kala aku dan keempat kawanku duduk bercengkarama dengan di dampingi oleh seorang guru yang luar biasa. Selalu memberikan wawasan dan ilmu dari setiap pengalamannya. Sambil menikmati semburat cahaya orange yang mulai mengusai ufuk barat. Melukiskan pancaran yang mampu membuat siapapun terpesona akan indahnya. Namun selain senja yang begitu indah, rupanya ada satu rasa yang mulai merekah. Rasa yang membuat hati menjadi lapang, pikiran menjadi tenang, dan jiwa raga pun ikut seimbang. Ya, satu rasa yang tak lain dan tak bukan adalah rasa syukur. Rasa syukur terhadap semua hal yang tak pernah ku harapkan. Meski ia bukan sebuah harapan, tetapi takdir telah menjadikan ia sebagai ketentuan. Jadi sudahkah kita bersyukur hari ini?
Penulis : Iklima Alifah
Beri Komentar